Original Fanfic a.k.a Original Story yang saya buat spesial buat Angel-chan yang sedang berulang tahun (27/11)! Otanjoubi omedetou! XO
Oh, ya, terima kasih buat pemberian hak asasi (???) nama Cherica yang diberikan kepada saya! XD Maaf kalau chara Cherica di orifict ini jelek atau kurang mengesankan. T.T
Sekali lagi, happy birthday, Angel-chan! XD
Hmm, sedikit informasi saja. Orifict ini terinspirasi dari manga/anime Pandora Hearts dan Kuroshitsuji! Jadi jangan heran kalau ceritanya pada sekitar abad 18. =="
Yosh!
Langsung dibaca saja~
Ditekankan untuk NO PLAGIAT!
.
FOR ANYTHING
By Farica~Lucy/faricaLucy/Lucy Na
Rated: T (13+)
Genre: Romance, Drama, Hurt/Comfort, Family
~Original Story~
Enjoy! ^^
.
.
.
Prologue
Hai, namaku Farica Ainsworth. Aku memiliki rambut panjang berwarna lavender dan rambutku sering kuikat dengan model ponytail. Aku memiliki mata yang indah seperti ibuku yang berwarna amethyst, dan adik kembarku juga memiliki mata yang sama sepertiku. Tapi, adik kembarku yang bernama Cherica Ainsworth ini memiliki rambut panjang berwarna brown dan lebih sering ia urai. Aku memiliki karakteristik yang mirip sekali dengan ibuku, Carissa Ainsworth, maka jangan heran kalau aku kerap kali dikatakan sebagai copy-an dari ibuku.
Aku pernah berpikir demikian. Karena aku mirip sekali dengan ibu, aku akan menjadi anak kesayangannya. Tapi, ternyata dugaanku salah. Adik kembarku, Cherica, memiliki fisik yang sangat lemah. Ia harus dijaga setiap saat, makanan yang ia makan harus benar-benar higenis, dan ia tidak boleh melakukan pekerjaan yang membuatnya lelah. Aku juga pernah berpikir, walaupun begitu, ibu akan bersikap adil kepada kami; aku yang tumbuh sehat dan adik kembarku yang tumbuh dengan fisik lemah.
Aku berasal dari keluarga bangsawan terkemuka di kota tempatku tinggal, Trixie. Ayahku, Flobert Ainsworth, merupakan bangsawan yang disegani karena perusahaan tekstil yang dilakoninya. Aku juga memiliki seorang kakak laki-laki bernama Colbert Ainsworth, yang umurnya 8 tahun lebih tua dariku. Saat ini aku telah menginjak pada usia 15 tahun. Kalian dapat menghitung sendiri umur kakakku, kan?
Pada koridor yang menuju ruang utama di mansion-ku, banyak sekali lukisan-lukisan yang menggantung di sana. Salah satunya ialah lukisan “From the Lake” dari Georgia O’Keeffe. Tapi, ada 1 lukisan di sana yang membuatku tertarik. Lukisan seorang anak perempuan yang mirip sekali dengan Cherica. Rambutnya panjang berwarna brown dan terurai, serta mata amethyst-nya yang membuatku semakin yakin kalau lukisan itu merupakan lukisan Cherica saat ia berumur 3 tahun. Semakin aku berpikir ke sini, hatiku semakin merasa sakit. Jangan tanyakan mengapa. Karena –jelas saja, ini begitu memperlihatkan kalau Cherica mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang berlebih daripada aku.
Pada pagi hari ini, aku menuruni anak tangga menuju ruang makan di mansion-ku. Seluruh anggota keluargaku telah berkumpul di sana dan kau lihat –mereka makan tanpa menunggu aku. Aku sempat berpikir, mengapa aku dilahirkan pada keluarga seperti ini? Lebih baik aku lahir di keluarga miskin yang menghargai keberadaanku!
“Fari, kau kau lama sekali,” kata Cherica lembut padaku, ketika aku mulai menarik kursi di sebelahnya untuk duduk dan makan.
“Iya, maaf.”
Aku melirik sedikit ke arah piring makan Cherica. Aku sedikit terkejut, karena piringnya masih kosong.
“Kau belum makan?” tanyaku padanya.
“Belum. Aku menunggumu,” ujarnya sambil tersenyum manis.
Rasa tak enak hati langsung menyelimuti hatiku. Aku tahu sebenarnya adik kembarku ini menyayangiku dan tentu saja aku juga menyayanginya! Tapi, kasih sayang melimpah yang ia dapatkan, terkadang membuatku iri.
“Padahal kau tidak perlu menungguku, Cheri. Aku tidak apa-apa,” kataku sambil tersenyum kecut.
“Tapi aku ingin makan bersama Fari.”
“Farica!” Ibu memanggilku dengan sedikit berteriak. Aku menoleh padanya, dan aku langsung mendapatkan ekspresi masam darinya. Aku tahu, aku akan kena marah lagi.
“Kau lama sekali! Apa saja yang kau lakukan di atas, huh? Cherica tidak bisa terlambat makan, seharusnya kau mengerti itu!” kata ibuku dengan suara lantang.
“Iya, Ibu. Maafkan aku,” kataku sambil menunduk.
Ibuku menghentakkan alat makan yang ia pegang di meja sambil berkata, “Jika kau tidak mau makan, kau tidak perlu datang ke sini dan membuat Cherica menunggu! Berapa kali harus kukatakan, kau selalu menyakiti adikmu, Fari!”
Aku semakin menunduk. Bulu kudukku berdiri. Jujur saja, saat ini aku begitu takut. Rasanya selalu ingin menangis ketika ibu berbicara –atau lebih tepatnya memarahiku.
“Apa kau tidak menyayangi adikmu, huh? Kau selalu membuatku marah di pagi hari! Ka—“
“Hentikan, Carissa,” potong ayahku. Oh! Terima kasih ayah!
“Flobert—“
“Makanlah dengan tenang, Carissa. Kalau kau memulai hari dengan marah-marah, bagaimana kau bisa menjalani hari?” kata ayahku tenang. Aku masih menunduk. Takut.
“…”
Ibu terdiam. Ia kembali mengambil peralatan makannya dan mulai makan dengan tenang. Tapi aku tahu, ibu masih kesal denganku. Mengapa ibu selalu menyalahkanku? Apakah semua yang aku perbuat itu salah?
“Fari, makanlah. Jangan menunduk terus,” ujar Colbert.
Dengan perlahan, aku mengangkat kepalaku dan menatap mereka semua. Mereka kelihatan baik-baik saja dan keheningan menyelimuti kami. Aku menolehkan kepalaku kepada Cherica, dan kulihat ia tersenyum manis padaku. Senyuman yang membuatku menjadi serba salah.
-foranything-
GREK! GREK!
Kereta kuda membawaku dalam perjalanan menuju sekolahku, Bloom High School. Bloom High School merupakan sekolah khusus putri dan juga merupakan sekolah terbaik di Trixie. BHS memiliki halaman yang luas dan berbagai macam bunga yang indah tersebar rata di sana. Gedung sekolah yang besar dan bercat light yellow, serta pohon-pohon dan tanaman lainnya yang begitu tertata rapi, menambah keasrian sekolah tempatku menuntut ilmu ini.
Aku mencintai sekolahku ini. Karena di sini, aku hanya bertemu dengan kedua sahabatku. Bukan dengan keluargaku yang kejam padaku.
Oh, ya, jangan tanyakan apakah Cherica bersekolah di sini juga atau tidak. Karena –jelas saja, ia tidak bersekolah di sini. Ia harus di rumah, menjaga kesehatannya. Aku bukan orang yang licik. Cherica memang tidak berada di sini, bukan berarti aku senang karena keberadaannya tidak ada. Justru aku sangat prihatin, karena tiap kali aku pulang sekolah Cherica selalu menungguku di pintu sambil berkata, “Apakah sekolahmu menyenangkan?”
GREK! GREK!
Kereta kudaku berhenti di depan pintu gerbang BHS. Aku segera turun dan segera memasuki halaman sekolahku. Ternyata sudah banyak para siswi yang datang. Aku melihat-lihat sebentar kemudian memasuki kelasku.
“Wajah suram yang berarti hati suram. Kejadian biasa di pagi hari, Fari?” kata Risha Gulyaev -salah satu sahabatku- tiba-tiba sambil melingkarkan tangannya padaku.
“Yah, begitulah.”
Aku berjalan beberapa langkah menuju bangkuku dan duduk di sana.
“Kau baik-baik saja?” tanya May Belkin, sahabatku yang lainnya. Ekspresinya seperti khawatir padaku.
“Tenang saja, aku sudah biasa dengan semuanya,” ujarku menenangkannya.
“Hm, ya… Kalau aku jadi kau, aku mungkin akan pergi meninggalkan mereka,” kata Risha.
“Atau pergi ke kantor pengadilan?” sahut May.
“Haha, buat apa pergi ke kantor pengadilan? Yang ada kita malah disuruh pulang ke mansion dan menjadi anak yang baik,” kata Risha santai.
“Yah, sepertinya begitu,” ujar May sambil menaikkan kedua bahunya.
Aku menghembuskan nafas kecil mendengar obrolan mereka berdua. Kedua sahabatku itu memang tahu keadaanku di keluargaku. Aku sering bercerita pada mereka, dan hanya merekalah tempat aku bisa mengeluarkan semua uneg-uneg di kepalaku.
Hmm, mereka memang yang terbaik!
-foranything-
TENG! TENG!
Huaaa, akhirnya setelah berjam-jam duduk manis di kelas sambil mendengar Sang Guru mengoceh, waktu untuk istirahat telah tiba! Aku merenggangkan jari-jariku dan tubuhku supaya penat yang kurasakan selama berjam-jam itu sedikit menghilang.
“Hei, mau menemaniku ke ruang musik?” tanya May.
“Boleh. Mau berlatih piano lagi?” tebakku padanya.
“Tentu saja. Memangnya apa lagi?” sahut Risha dari belakangku.
“Aaa, kalau begitu ayo cepat! Aku takut ada yang memainkan pianonya lebih dulu,” kata May sedikit terburu-buru.
“Iya, iya. Sabar.”
Kami bertiga keluar kelas dan berjalan di koridor menuju ruang musik. Oh, ya, sedikit informasi saja. May itu sangat suka bermain piano. Di BHS, May merupakan siswi yang paling mahir memainkan piano. Jarinya panjang, kurus, dan lentik. Tiap kali melihatnya memainkan piano, jarinya seperti menari-nari dengan lincah di atas tuts-tuts piano. Tidak heran, jika May selalu diminta untuk memainkan piano tiap kali ada acara.
“Ah! Pintu ruang musiknya terbuka!” seru May ketika kami semakin mendekat ke ruang musik.
Dengan sangat terburu-buru, May segera mendorong pintu ruangan itu dan melihat ke dalam. Entah apa yang ia lihat, ia terpaku di ambang pintu.
TING! TING! TING!
Ada orang lain yang memainkan piano!
“Ada apa, May?” tanyaku ketika aku sudah dekat padanya.
“…”
Tidak ada jawaban. Sorot matanya terpaku ke depan. Aku mengikuti arah tangkap matanya, dan—yang benar saja, aku juga ikut terpaku!
TING! TING! TING!
Seorang siswi -yang sepertinya merupakan kakak tingkat kami bertiga- sedang memainkan piano satu-satunya yang ada di ruang musik itu. Rambutnya pendek berwarna pirang keemasan, dan ia kerap kali menutup mata emerald-nya, berusaha mendapatkan feeling dari lagu yang ia mainkan.
“Indah sekali,” gumam Risha yang sepertinya juga ikut terpaku.
TING!
Dentingan terakhirpun terdengar. Menandakan bahwa permainan lagu telah usai. Ia membuka matanya, memperlihatkan mata emerald-nya yang memukau. Ia melihat dan berjalan ke arah kami. Ia berhenti tepat di depan May. Ia menggerakkan matanya, melihat May dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Aku tidak mengerti, mengapa bocah jelek sepertimu memiliki permainan piano yang begitu menakjubkan,” katanya sambil memberikan tatapan merendahkan.
“A-Apa maksudmu, huh?!” tanya Risha menantang.
Ia menaikkan sebelah sudut mulutnya sambil berkata, “Tidak ada. Hanya tidak percaya pada kenyataan,” kemudian berlalu pergi.
“A-AP—“
“Sudahlah, Risha,” potong May. “Aku memang masih belum apa-apa,” lanjutnya.
May tersenyum tipis, kemudian berjalan menuju piano.
Ia duduk, kemudian menyiapkan jari-jarinya di atas tuts. Aku dan Risha hanya memperhatikannya.
TING! TING! TING!
Ia mulai bermain.
TING! TING! TING!
Aku ingin berkata jujur. Permainan piano May jauh lebih baik daripada kakak-tingkat-kami yang sombong! Dan itu… NYATA! Oh, May! You are the best!
“HUAAA, MAY!!!” teriak Risha sembari memeluk May dari belakang.
“He-Hei…” May kebingungan, memaksanya untuk berhenti sejenak dari permainannya. Sedangkan aku hanya tertawa kecil dari ambang pintu.
-foranything-
GREK! GREK!
Kehidupan sekolah yang menyenangkan telah usai. Kembali pada kehidupan kejam nan keji di mansion.
GREK!
Aku turun dari kereta kudaku lalu memasuki mansion dengan sedikit keraguan.
“Farica…,” panggil Cherica yang tak jauh dari pintu.
“...Kau masih menungguku?” tanyaku hati-hati.
“Tentu saja! Apakah sekolahmu menyenangkan?” tanyanya. Haaah, pertanyaan itu lagi.
Aku tersenyum kecut. “Lumayan.”
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. “Ada sesuatu yang terjadi di sekolah?” tanyanya ketika aku akan menaiki tangga menuju kamarku.
“Ah, iya. Aku bertemu kakak tingkat yang ugh… sombong.”
“Oh, ya? Siapa namanya?” tanya Cherica sambil berlari kecil mendekatiku.
“Entahlah. Aku tidak mengenalnya.” Aku kembali menaiki tangga menuju kamarku dan Cherica mengikutiku dengan berada di sampingku.
“Hmm, begitu. Oh, ya!”
Aku menolehkan kepalaku pada Cherica.
“Ada apa?”
“Malam ini kita akan pergi ke pesta!” ujar Cherica senang.
“Pesta? Kau diperbolehkan ibu untuk ikut?”
“Iya, pesta. Kata ibu putri dari keluarga Norward menikah dengan anak laki-laki dari keluarga Creighton. Dan perayaannya malam ini! Aku meminta ibu sambil memohon-mohon padanya untuk memperbolehkan aku ikut. Dan ibu memperbolehkanku. Fari, kau ikut, kan?”
“Hmm, entahlah,” jawabku sekenanya ketika kami telah sampai di depan pintu kamarku.
“Kau harus ikut! Kalau kau tidak ikut, nanti aku akan sendirian. Aku yakin, ibu pasti memperbolehkanmu,” ujarnya sambil tersenyum.
Lagi-lagi senyuman itu.
Kasih sayang ibu padamu berbeda dengan kasih sayang ibu padaku.
“Kau ikut, Farica.”
Aku menoleh ke belakang. “Ayah.”
“Ya, kau harus bersama Cherica. Bersiap-siaplah, Farica,” ujar ayah sambil berlalu.
Senyum Cherica semakin melebar.
“Tuh kan, benar! Ayo, bersiap-siap, Fari! Kita akan mengenakan gaun yang bagus dan cantik malam ini!” seru Cherica bersemangat.
Aku ikut tersenyum bersamanya. Dan entah mengapa, rasanya aku senang sekali!
-foranything-
Aku mengenakan gaun yang cukup lebar. Warnanya biru langit dan manik-manik putih serta pita mendominasi di gaun yang aku kenakan ini. Rambutku masih kuikat dengan model ponytail dan kuhias dengan pita yang cukup besar berwarna biru langit. Model gaunku dan gaun yang dikenakan Cherica sama, hanya saja gaun Cherica berwarna kuning terang dan rambutnya ia urai.
GREK! GREK!
Kereta kuda mengantarkan kami pada mansion yang cukup besar. Mansion Creighton. Aku beserta keluargaku turun dari kereta kuda ketika kami telah sampai di tempat tujuan. Aku dan Cherica berjalan berdampingan, dan ibu yang berada di depan kami yang selalu mengawasi Cherica.
WAWAWA!
Pesta yang cukup ramai. Didominasi oleh orang dewasa yang saling bercengkrama, anak-anak kecil yang tertawa riang sambil bermain-main, dan beberapa remaja yang tersebar di penjuru ruangan.
Cherica mengikuti ibu untuk mengobrol dan aku ditinggal sendirian. Aku mengambil salah satu cocktail yang ada di salah satu meja, lalu membawanya bersamaku menuju balkon. Di ruangan yang luas itu orang-orang saling menyapa, mengobrol, dan tertawa. Sedangkan aku sendirian di balkon mansion, menikmati cocktail sambil memandangi langit malam.
“Haaaah!”
Aku menghembuskan nafas untuk kesekian kalinya. Aku lelah. Sendirian. Kalau tahu begini, lebih baik aku tidak ikut datang. Bahkan tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku di mansion ini –tentu saja kecuali keluargaku.
TAP! TAP!
Aku mendengar langkah kaki seseorang. Dengan sigap, aku segera membalikkan tubuhku dan melihat orang tersebut.
“Ah, ternyata di sini ada orang juga,” katanya. Hmm, seorang pemuda.
Dia berjalan mendekatiku, aku mundur beberapa langkah. Langkahnya semakin maju dan mengambil posisi di sampingku. Rambutnya berwarna hitam kelam, namun kulitnya putih. Dia memiliki mata berwarna seperti sapphire, mata yang indah. Dia menatap langit malam sambil bertanya padaku, “Siapa namamu?”
Untuk sejenak aku terpaku. Aku mulai membuka mulut, tetapi dia telah berbicara lebih dulu. “Aku Arvin Norward. Kau tidak perlu takut. Aku orang baik-baik,” ujarnya sambil tersenyum.
‘Keren…’
Ah! Wajahku memerah!
“A-Aku…” Aku tergagap. Hingga…
“Fari, mengapa kau ke si—“ Cherica datang, mengalihkan pandanganku padanya.
Ia terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Di sini, di balkon mansion Creighton, di bawah langit malam, kami bertiga terdiam dalam hening.
Mungkinkah, takdir mulai mengombang-ambingkan kehidupan kami bertiga?
TBC
.
Yap!
Minta komentarnya, ya! XD
Oh, ya, kalau mau lebih enak lagi bacanya, silahkan baca di http://www.fictionpress.com/s/2974143/1/For_Anything (Minta review-nya, Minna? XD)
Nah, di sini kita mendapatkan info! Nama "Farica" yang saya gunakan merupakan OC (Original Character) yang saya buat. (^_^)v Saya sangat menyukai nama itu dan selalu memakainya. Untuk nama "Lucy" saya ambil dari tokoh anime/manga Fairy Tail! Hayooo, yang fans-nya Fairy Tail pasti tahu! XD
Sekian dulu dari saya. Nantikan chapter selanjutnya! XD
*halah* (Siapa juga yang mau nungguin?)