QUIRKY
Quirky © faricaLucy aka Lucy Na & Han Rae Woo
Rate: T
Genre: Friendship, humor, romance
Warning(s): Setting di sini
hanyalah fiksi belaka, NO YURI!, typo, etc.
Summary: Alkisah empat sekawan yang selalu bersama,
di kala suka maupun duka, di kala gila maupun waras. Bersama girlband mereka… QUIRKY!
Dan kisah unik percintaan mereka masing-masing.
Terinspirasi dari anime/manga K-On!
miliknya Kakifly. :3
Don’t like, don’t read!
Enjoy! ^^
.
.
.
Chapter 1: Girlband? What?
Di salah satu kota di Indonesia, terdapat sekolah swasta yang
merupakan cabang sekolah berbasis internasional dari luar negeri, SMA Masada. Sekolah ini
bergedung besar dengan cat berwarna elegan, serta lingkungan yang asri dan
ramah lingkungan. Sebagian dari guru-guru yang mengajar di sekolah ini berasal
dari luar negeri—yang dipilih secara ketat. Murid-murinya pun diajarkan untuk
beretika tinggi—tidak hanya dalam bidang akademik, tapi juga bidang sosial
sangat diperhatikan.
Sekolah ini memulai kegiatan belajar-mengajar mereka pada
pukul 8.00 pagi, dan selesai pada pukul 3.30 sore. Walaupun memiliki waktu
belajar yang lebih lama, KBM mereka hanya pada hari Senin sampai dengan Jumat.
Hal ini dikarenakan karena sekolah ini berbasis internasional—sekali lagi, internasional.
Di sekolah ini terdapat banyak sekali ekstrakurikuler yang
biasa disebut sebagai klub. Ada klub karate, klub pemanah, klub sepak bola, dan
lain sebagainya. Memang benar, sekolah tidak mengharuskan murid-muridnya
mengikuti salah satu klub yang ada. Hanya saja, keterlibatan dalam klub juga
turut mempengaruhi prestasi di sekolah. Jadi, lebih baik ikut klub saja kan?
Hari ini adalah hari ketiga sejak upacara masuk sekolah di
SMA Masada. Ginny melangkahkan kakinya melewati gerbang besar menuju kelasnya
di X-1. Tampak ketiga sahabatnya—Patricia, Anna, dan Laura telah menunggunya di
depan kelas.
“Mbah Ginny tumben lama datangnya,” sapa Anna ketika gadis
berkacamata itu mau memasuki kelas. Mbah
memang panggilan ‘khusus’ yang diberikan ketiga sahabatnya untuk Ginny.
“Eh? Masa? Lo kali yang kecepetan,” sahut Ginny sambil
meletakkan tasnya di bangku.
“Ngomong-ngomong, gue pergi bentar ya,” kata Patricia,
bersiap akan pergi.
“Ke mana?” tanya Laura sambil memperhatikan secarik kertas
yang digenggam oleh Patricia.
“Ke Klub Teh,” jawab Patricia polos.
“Hah? Lo gak pernah bilang mau masuk ke klub itu?!” Anna
terlihat kaget.
“Sorry… Lo kan
udah pada tahu kalo gue itu otaku*. Nah, di Klub Teh ini ada teh jepang,
jadi—“
“No, no, no,
no!” Anna menggeleng cepat, tidak
menyetujui apa yang telah direncakan Patricia. Iapun berusaha mengambil kertas
yang akan dibawa Patricia. Untunglah Patricia memiliki postur tubuh yang
‘sedikit’ lebih tinggi dari ketiga sahabatnya. Dengan mudah, Patricia bisa
menghindar dari serangan dadakan (?) Anna.
“Ann kejam!” seru Patricia sambil memperlihatkan wajah
unyunya tanpa sadar. Ginny dan Laura yang melihat wajah Patricia itu terdiam
sejenak, lalu—
“YA AMPUN~! CIAAAAAAAA!!!” teriak, sambil mencoba memeluk
Patricia yang biasa disapa Cia oleh sahabat-sahabatnya itu.
Keempat sekawan itu terlihat rusuh dadakan dan nyaris
dijadikan tontonan gratis orang-orang di sekitarnya. Persahabatan mereka memang
sudah terjalin cukup lama, yaitu ketika mereka masih duduk di bangku sekolah
dasar.
~(-_- )~~(-_-)~~(
-_-)~
Secarik kertas yang awalnya utuh, kini sudah menjadi
bagian-bagian kecil yang sudah teramat sulit untuk disambungkan. Alis Patricia
mengkerut. Akibat kerusuhan dadakan itu, ia membatalkan niatnya untuk masuk ke
Klub Teh. Sementara Anna ber-YES-ria dalam hati.
“Hfffttt… Gak ada klub lain yang membuat gue tertarik
kecuali Klub Teh,” gumam Patricia agak sedih.
“Sudah, sudah. Lagipula lo sih, tega banget pisah sama kita-kita,”
ujar Anna santai. Patricia hanya mendengus kesal.
Ginny pun mulai angkat suara. “Nah, karena Cia udah batal
masuk Klub Teh, kita harus—“
“Potong tumpeng! Yeee!” teriak Laura yang disahut wajah what-maksud-lo dari ketiga sahabatnya.
“Bukan, Ra!” sahut Ginny seraya akan menjitak jidat Laura,
tapi gak jadi. “Kita harus mencari klub yang akan kita ikuti bersama,” sambung
Ginny wibawa. Ceilah.
Semuanya terlihat berpikir, kecuali Patricia. Pikirannya
masih say-goodbye pada Klub Teh dambaannya.
“Ah!” pekik Laura tiba-tiba, membuat ketiga sahabatnya
terkejut—terlebih Patricia. Yang awalnya say-goodbye, malah jadi say-Ah! pada Klub Teh. What?
“Ya ampun, Laura! Lo mau liat gue terbaring lemah di kasur
rumah sakit?” kata Anna mendramatisir sambil mencoba meredakan keterkejutannya.
“Sorry, Ann. Tapi,
gue tahu solusi dari permasalahan kita.”
“Apaan? Yang pasti klubnya enak dong?” tanya Patricia
penasaran.
“Oh, tentu! Kalian mau tahu klub apa?” Patricia semakin
membuat ketiga sahabatnya penasaran. Semuanya mengangguk untuk mengetahui klub
apa yang dimaksud oleh Laura. “Klub Musik!!!” ucapnya senang.
Ketiga sahabatnya pun kaget bukan kepalang. “OGAH!”
“Yaelah, kalian ini gimana sih? Seru tauk,” ujar Laura
lemes.
Ginny menghela nafas berat seraya berkata, “Emang lo udah
lupa tragedi kita pas SMP?”
“Tragedi apaan?” tanya Laura dengan wajah polosnya. Yang
lain frustasi dadakan.
Anna sedikit kesal dengan kelolaan sahabatnya itu. “Tragedi
yang itu loh! Yang pas kita lagi asyik-asyiknya makan, lalu—“
“DIPAKSA IKUT
PADUAN SUARA! YA AMPUN, GUE INGET BANGET ITU! APALAGI PAS ITU KAN GUE LAGI GAK
ENAK BADAN!” ujar Ginny gak nyantai dengan penekanan pada kata ‘dipaksa’.
“BENER, BENER! PAS ITU GUE KIRA BAKALAN SERU. TERNYATA… OH MY GOD! GUE BISA TIDUR PULAS DI
SONO!” Patricia ikutan gak nyantai.
“Yaelah, kalian modern dikit napa?” Tiga pasang mata
sahabatnya itu mendelik cepat ke arah Laura. “Gue berani jamin kalo Klub Musik
di sini bakalan seru.”
“Lo yakin? Isinya bukan paduan suara ato seriosa gitu kan?”
tanya Anna memastikan.
“Nggak. Gue berani jamin, deh…”
“Kalo ternyata gak seru, kita langsung keluar, loh,” ujar
Patricia.
“Ya ampun, lo pada gak percaya sama gue? Lo kan udah pada
tahu kalo kakak gue alumni SMA ini, jadi informasi yang gue punya itu
terpercaya banget,” ucap Laura pede.
“Iya, iya,” kata Patricia lemes.
“Jadi, kita masuk Klub Musik nih?” tanya Anna memastikan
pilihan sahabatnya itu.
“Kita gak akan tahu sebelum mencoba. Ayo!” ucap Ginny sambil
melangkah menuju ruang Klub Musik, yang diikuti oleh ketiga sahabatnya. Sebenarnya gue gak yakin. Tapi gak apalah,
kalo-kalo bener kata si Laura, batin Ginny gak tenang.
~(-_- )~~(-_-)~~(
-_-)~
TOK! TOK! TOK!
“Permisi,” kata Ginny sambil mengetuk pintu klub itu untuk
kesekian kalinya. Namun lagi-lagi hening. Tidak ada seorangpun yang menjawab.
“Jangan-jangan gak ada orang di dalem,” kata Anna.
“Gue bisa jamuran lama-lama di sini,” ucap Laura sambil
menghela napas.
“Yaelah, lo juga kan yang ngajak,” sahut Patricia pada
Laura. Ia juga terlihat lelah menunggu di depan pintu. Laura hanya manyun
mendengar sahutan Patricia.
Memang benar, bagaimana tidak lelah jika kalian terus
menunggu sambil mengetuk pintu selama 10 menit tanpa mengetahui secara pasti
apakah ada orang di dalam sana. Tapi sepertinya keempat gadis itu tidak
mengenal kata ‘menyerah’, mereka masih juga menunggu di depan pintu klub
tersebut.
Tiba-tiba seorang cowok dengan mata agak sipit datang,
sepertinya dia hanya akan lewat. Dia terlihat baru keluar dari Klub Basket yang
notabene berada di sebelah ruang Klub Musik. Namun terbalik dari yang
diperkirakan, dia malah diam dengan wajah datar sambil memperhatikan keempat
gadis itu. Merasa diperhatikan -dan sedikit kegeeran- keempat sekawan itu
memperhatikan balik ke arah cowok bertampang datar itu. Keheningan mulai memenuhi
suasana di sana.
“…”
“…”
“Ngapain kalian tegak-tegak di sini?” Akhirnya cowok itupun
membuka suara.
Anna terpancing dengan pertanyaan cowok itu. “Ha? Masalah
buat l—“
Namun Ginny memutus ucapan Anna. “Kami mau masuk Klub
Musik,” ujarnya.
“…Kalian yakin?” Keempat sekawan itu sedikit tersentak
kaget, dan langsung mendelik ke arah Laura. Laura hanya mengangkat kedua
bahunya. “Klub Musik sudah tidak ada lagi sejak 3 tahun lalu,” kata cowok itu.
DEG! Lagi-lagi keempat sekawan itu tersentak kaget.
“Ta-tapi, kata kakak gue—“ Laura berusaha membenarkan
opininya, tapi sudah keduluan didelik oleh ketiga sahabatnya dengan tatapan
gue-udah-berdiri-di-sini-selama-sepuluh-menit-tanpa-ada-harapan. Laura hanya
meneguk ludah melihat tatapan mengerikan dari ketiga sahabatnya.
“Tapi gue gak tahu juga ya,” ujar cowok itu lagi. “Gue juga
masih kelas 10 di SMA ini, jadi itu cuma rumor yang gue denger dari temen-temen
gue,” lanjutnya.
Semuanya terlihat menghela nafas lega. Artinya usaha mereka
tidak terlalu sia-sia menunggu selama 10 menit di sana. Lalu, tak lama kemudian
datang seorang ibu guru menghampiri mereka. Dilihat dari wajahnya, mungkin umur
guru itu sekitar 25-27 tahun. Ibu guru yang masih muda.
“Ngapain kalian tegak-tegak di sini?” Pertanyaan yang sama
dilontarkan oleh guru itu.
Anna sudah malas menyahut, akhirnya Ginny juga yang
menyahut. “Kami mau masuk Klub Musik, Bu.”
Ibu guru itu melihat mereka dengan tatapan mendramatisir. Matanya
terlihat berkilat-kilat seperti—bahagia?
“AKHIRNYAAA…! Ayo, anak-anak! Kita masuk ke ruang klub!”
seru guru itu sambil mengeluarkan kunci ruang Klub Musik dari saku bajunya.
Keempat sekawan itu hanya tersenyum tipis. Mereka memang senang, akhirnya bisa
masuk ke Klub Musik, tapi di sisi lain mereka juga kesal. Artinya selama 10
menit tadi ruangan itu memang kosong?
Cowok bertampang datar itu kembali memperhatikan keempat
gadis itu, lalu mulai mengambil langkah untuk pergi. Tapi sang guru menghentikan
langkahnya. “Hei, kau! Bukankah kau juga ingin masuk Klub Musik?”
Cowok itu menggeleng cepat, “Saya sudah masuk Klub Basket.
Hanya mereka berempat yang ingin masuk ke Klub Musik.” Lalu kembali melanjutkan
langkahnya.
Guru itu hanya mengangguk mengerti, lalu membuka pintu ruang
klub dengan kuncinya. Iapun mempersilahkan keempat sekawan itu masuk ke dalam
ruangan. Semuanya masuk, kecuali Laura. Entah ada maksud apa, ia mengejar cowok
itu dan menghentikannya.
“Tunggu!” teriak Laura.
Cowok itupun berhenti dan menoleh ke arah Laura. “Ada apa?”
“Gue Laura, dari kelas X-1. Kalo elo?”
“…” Cowok itu mengangkat sebelah alisnya.
Laura menggaruk tengkuknya yang sama sekali gak gatal. “Kalo
gak kenal maka gak sayang kan,” ujarnya.
Cowok itu terlihat mengangguk sedikit dan tampak memikirkan
perkataan Laura. “Hoshi Nakamura. Kelas X-2.”
Laura terlihat tersenyum lebar, dalam hati ia sangat senang
sekali. “Senang berkenalan. Kelas kita sebelahan, ruang klub kita juga
sebelahan. Semoga kita bisa menjadi teman yang baik,” ujarnya dengan penuh
pengharapan di setiap kata-katanya itu.
“Hn.” Cowok itu—Hoshi, hanya mengangguk sekali lalu pergi.
Laura yang melihat Hoshi pergi langsung berteriak, “Bye… Oh, juga makasih ya…!” Lalu balik
melangkah memasuki ruang Klub Musik. Ia terlihat sangat senang.
~(-_- )~~(-_-)~~(
-_-)~
Ruangan Klub Musik itu didominasi dengan cat berwarna putih,
cokelat, dan pink. Walaupun Ginny
sangat membenci warna pink, tapi ia
tidak bisa memungkiri bahwa ruangan itu terlihat mewah. Ruangan itu memang
cukup besar dan luas. Terdapat kaca yang sangat besar memenuhi dinding sebelah
kanan, lalu terdapat meja persegi panjang dengan 6 kursi mengelilingi meja
tersebut. Tidak jauh dari meja, terdapat sebuah pintu bertengger di sana. Di
sana juga terdapat lemari yang berisi seperangkat alat makan, serta 1 hal—grand piano.
Awalnya keempat sekawan itu takjub melihat suasana dan isi
ruangan itu, tapi setelah melihat grand
piano—GLEK! Mereka malah teringat dengan tragedi saat mereka SMP itu.
Paduan suara.
‘Gawat! Jangan beneran
jadi paduan suara,’ batin Ginny, Patricia, dan Anna. Namun kebalikan dengan
Laura. Ia hanya senyum santai aja.
Setelah melihat-lihat, merekapun duduk di bangku yang ada di
ruangan itu. Ibu guru juga memulai obrolan. “Kalian murid kelas 10, ya? Oke,
kita perkenalan dulu, ya.” Semua mengangguk.
“Nama ibu Aprilia Sari, biasanya dipanggil dengan Bu Lia.
Ibu lahir di Bandung, 24 April. Sekarang umur ibu 26 tahun. Dulu ibu kuliah di
UGM, mengambil jurusan sastra. Sebenarnya ibu tidak berminat menjadi guru, tapi
akhirnya ibu jadi guru juga, haha. Ibu sudah mengajar di sini selama 4 tahun,
yah bisa dibilang guru baru, hehe. Dan selama 4 tahun itu pula ibu mengharapkan
seorang pendamping hidup, tapi sampai saat ini ibu belum menemukannya juga,
haha. Jadi, kalian bisa menebak kalau ibu ini masih single. Ibu adalah wali kelas X-2, sekaligus guru Bahasa Inggris untuk
kelas 10 dan 11, dan juga pembimbing untuk Klub Musik. Lalu—“
“I-iya, salam kenal Bu Lia.” Ginny memotong perkenalan diri
dari gurunya itu yang teramat sangat panjang kali lebar kali tinggi sama dengan
volume balok. Baru kali ini gue ketemu
guru yang pengenalan dirinya sangat-sangat lengkap, batin Ginny.
Barusan itu pengenalan
diri atau riwayat hidup sih, batin Anna yang kaget mendengar penuturan sang
guru. Sedangkan Patricia dan Laura hanya melongo mendengarnya.
“Nah, silahkan perkenalkan diri kalian satu-satu,” ucap Bu
Lia. Perkenalanpun dimulai dari Ginny.
“Nama saya Ginny.”
“Nama saya Patricia, biasa dipanggil Cia.”
“Saya Anna, panggil aja Ann.”
“Nama saya Laura.”
“Kami berempat dari kelas X-1,” tambah Ginny. Perkenalan
diri yang teramat sangat-sangat singkat. Sang guru hanya mengangguk sambil
ber-OOH-ria.
“Oh, ya, tadi gue sempet kenalan sama cowok tadi loh!” seru
Laura dengan senyuman terlebarnya.
“Wow,” ucap Anna.
“Iiih, lo nanya dulu dong, ‘harus bilang WOW, gitu?’ terus
gue jawab ‘iya!’ lalu lo baru bilang ‘WOW’!!! Gitu, Ann!” Laura mulai berdebat
hal yang sama sekali gak penting dengan Anna.
“Lah, kok maksa,” sahut Anna sewot.
“Huh!”
“Udah-udaaaaaaaah! Lanjutin, Ra!” ucap Ginny menenangkan
keduanya.
“Terus, terus, gue tanya namanya siapa… Lalu dia bilang
namanya Hoshi Nakamura, dari kelas X-2!” terang Laura dengan semangat 45.
“Wah, artinya anak murid dari kelas ibu, ya,” sahut Bu Lia
sambil mengelus-elus dagunya.
“Iya, iya!” Laura mengangguk dengan semangat.
“Hmm, dari namanya… dia orang Jepang ya?” Akhirnya Patricia
membuka suara. Ia tampak berpikir.
“Eh, iya juga. Matanya juga agak sipit.” Ginny menyetujui
penuturan Patricia.
“Tapi tadi dia ngomong pake bahasa Indonesia lancar-lancar
aja tuh,” ucap Anna.
“Hmm…” Semua tampak berpikir, begitu juga dengan Bu Lia.
“Mungkin belasteran,” sahut Bu Lia, yang diikuti anggukan
setuju dari yang lainnya.
“Aih, tu cowok cakep bener,” gumam Laura yang didengar oleh
yang lain.
“CIEEE! Yang sedang berbunga-bunga.” Ginny mulai menggoda
Laura. Laura hanya tersipu malu.
“IYA! Ada bunga tulip, bunga mawar, bunga bangkai…,” ujar
Patricia sambil menunjuk ke wajah Laura.
“Bunga yang terakhir kagak!”
“Jadi lo suka sama cowok yang menyebalkan itu?” Anna
menginterogasi.
“Yaelah, Ann! Kalo temen lagi jatuh cinta didukung dong,”
ujar Ginny sambil mencubit pipi Anna.
“Aduh! Sakit, Mbah!” Anna membalas Ginny dengan mencubit
pipinya juga. Mereka saling cubit-cubitan pipi.
“Hahahaha…”
“Eh, ngomong-ngomong, itu pintu ke mana ya?” Anna menunjuk
ke arah pintu yang ada di dekat meja. Bu Lia hanya tersenyum mengerti.
“Kalian mau lihat?”
“Eh? Boleh?”
Anna terlihat sangat penasaran. Laura juga sudah berpikir
yang aneh-aneh. Jangan-jangan pintu itu
tembus ke Klub Basket. Waaah, senengnyaaa…!, pikir Laura.
Bu Lia hanya mengangguk. Ia berdiri lalu membuka pintu
tersebut. Keempat sekawan itu langsung melongok melihat ke dalam ruangan yang
ada di balik pintu itu. Mata mereka membulat.
“EH? ALAT MUSIK?”
Ruangan itu lebih kecil dari ruangan yang mereka masuki,
sekitar satu pertiganya. Di sana terdapat drum,
keyboard, gitar, bass, dan perlengkapan band
lainnya. Semuanya terlihat masih bagus dan layak untuk dimainkan.
“Kalian bisa membuat band,” kata Bu Lia.
Semuanya tertegun. Masih memperhatikan alat-alat musik di
hadapan mereka.
“A-ano…” Patricia membuka suara. “Gue gak bisa main alat
musik. Satupun.”
“Sama, gue juga,” Anna menelan ludah.
“Kalian pikir gue bisa?” imbuh Ginny sambil menghela nafas.
“Hmm… Gue bisa sih main gitar. Tapi masih basic, itupun gak dijamin bisa lancar,”
sahut Laura.
Semua menghela nafas berat.
“Apa yang bisa kita lakukan di Klub Musik ini?” Patricia
nyaris menyerah.
Bu Lia tampak berpikir keras. “Ah!” Sepertinya ia mendapat
ide. Keempat sekawan itu saling berpandangan. Mereka sudah harap-harap cemas.
“TIDAAAK!!!”
“GUE GAK BISA NYANYIII!”
“A-ANO, GUE MINTA SURAT IZIN MASUK LAGI KE KLUB TEH, YA!”
“GUE GAK BISA IKUT PADUAN SUARA! SUARA GUE BASS!”
Keempat sekawan itu langsung kalang-kabut. Mereka menyangka
akan menjadi paduan suara. Sudah cukup di SMP tersiksa, masa di SMA juga
tersiksa?
“Ha? Paduan suara?” Bu Lia mengoreksi teriakan yang
dilontarkan Ginny barusan.
“I-iya.” Ginny menjawab ragu.
Bu Lia langsung tertawa mendengar pengakuan Ginny. Entah
bagian apa yang lucu, intinya ibu itu tertawa. “Hahaha, kalian ini lucu sekali!
Haha…!”
Keempat sekawan itu mengernyitkan kening mereka. What? Maksud lo? Apanya yang lucu seh?
“Haha, aduh maap.” Bahkan Bu Lia tertawa sampai keluar air
mata. Lebay, pikir keempat sekawan
itu. “Begini, anak-anak. Ibu sama sekali tidak bermaksud untuk membuat kalian
jadi paduan suara hanya karena ada grand
piano itu. Walopun ibu masih single,
ibu ini modern dan mengikuti perkembangan zaman loh~!” Tepat sekali dengan apa
yang dipikirkan mereka berempat.
“Jadi?” Patricia masih bingung dibuat guru bahasa Inggrisnya
itu.
“Hmm…” Bu Lia memperhatikan wajah mereka satu per satu, dan
tersenyum penuh misteri. “Bisa. Masih bisa. Ada 1 konsep,” ujarnya.
“Konsep… apa?” Perasaan Ginny makin tidak mengenakkan.
“Girlband.”
“WHAT?”
“Girlband.”
“HAH? GIRLBAND?”
“Ya. Girlband.”
TET! TET! TEEET! Bel masuk telah berbunyi, tapi keempat
gadis itu masih saja dalam pose shock.
“Baiklah, anak-anak. Sekarang kalian masuk ke kelas. Saat
keluar main nanti, kita berkumpul lagi di sini ya…!”
~(-_- )~~(-_-)~~(
-_-)~
TAP! TAP! TAP!
Empat sekawan itu berlari dengan terburu-buru. Wajar saja,
jarak antara ruang klub dengan kelas mereka cukup jauh. Sebagai murid baru di
SMA Masada, mereka gak mau nama mereka sudah tercoreng hanya karena telat masuk
kelas.
“Ayo cepetan, Ann!” teriak Patricia pada Anna yang berlari
di belakangnya.
“Duh, tungguin, dong!” keluh Anna.
BRUK! Anna berlari dengan sangat terburu-buru sampai tidak
melihat jalan di depannya. Ia menabrak sesorang dan jatuh.
“Aduh, lo kalo lari pake mata dong!” celoteh orang yang
ditabrak Anna. Dari suaranya, Anna yakin orang itu adalah seorang cowok.
“Yaelah, di mana-mana lari itu pake kaki! Mana ada pake
mata! Pelajaran biologi lo gak tuntas apah?!” sahut Anna gak mau kalah.
Anna yang jatuh langsung berdiri dan melirik ke arah cowok
yang ia tabrak. Matanya langsung terbelalak. “Reo?!”
“Hais.” Cowok itu -yang juga jatuh- berdiri dengan kesal.
Merasa namanya disebut, dia melihat ke arah Anna. “Ann?! Ngapain lo di sini?”
Cowok itu—Reo, ikutan terbelalak.
“Lah? Seharusnya gue yang nanya ngapain lo di sini?!!” Anna
semakin kesal.
“Gue masuk SMA ini. Nah, cewek tengil kayak lo ngapain di
sini?”
“What? Siapa yang
lo maksud dengan cewek tengil, huh? Gue
juga sekolah di sini tauk!”
“Hah? Kok bisa?” Reo kaget setengah hidup—eh, mati
maksudnya.
“Ya bisalah! Duh, kenapa sih gue harus ketemu lo lagi! Bosen
liat tampang abstrak elo! Udah, ah! Gue lagi buru-buru nih!” ujar Anna yang
langsung ambil langkah ke kelasnya.
“Eh, tunggu! Lo masuk kelas mana, Ann?” teriak Reo saat Anna
mulai menjauh.
“X-1!!!”
“Gue X-2!” Reo membalas sambil teriak.
Sayup-sayup Anna membalas dari jauh. “Gak ada yang nanya!”
Reo yang mendengarnya hanya tertawa kecil. Dia memandangi
punggung Anna dengan senyum penuh arti.
~(-_- )~~(-_-)~~(
-_-)~
Waktu istirahat telah tiba. Keempat sekawan dan Bu Lia
benar-benar berkumpul di ruang klub. Semua terlihat santai dan memasang wajah
seperti biasa. Tapi tidak untuk Anna. Dari tadi dia hanya cemberut, membuat
suasana di sekitarnya menjadi suram.
“Ada apa sih, Ann? Kayaknya dari tadi lo bete terus,” tegur
Patricia yang khawatir keadaan sahabatnya itu.
Anna menghela nafas kesal. “Asem banget, deh! Tadi gue
ketemu Reo!!!”
“Reo? Si Oreo maksud lo?” tanya Laura memastikan.
“Ya,” jawab Anna singkat. Ia sekarang benar-benar bete.
“Ann, seharusnya lo seneng dong bisa ketemu lagi sama temen
bertengkar lo dari SMP,” ucap Ginny yang malah membuat Anna makin bete. Anna
hanya membalasnya dengan tatapan tajam. “Iya, iya. Sorry, Neng!”
“Huft!”
“Oh, ya, dia masuk kelas mana?” tanya Patricia.
“X-2,” jawab Anna datar.
“EEH! Sekelas dengan Hoshi dong?” Laura kaget mendengarnya.
Entah kenapa, ia sedikit menyimpan sedikit harapan?
“Heboh, deh,” ujar Ginny pada Laura.
Bu Lia yang melihat anak-anak muridnya itu hanya menghela
nafas. “Bisa kita mulai pembicaraan kita?”
Semuanya mengangguk.
“Baiklah, kembali ke topik kita sebelumnya. Konsep kalian
adalah… girlband.”
“WHAT?”
“Girlband.”
“HAH? GIRLBAND?”
“Ya. Girlband.”
Kok rasanya déjà vu, ya?
“Gak bisa nyanyi. Gak bisa dance. Gak bisa imut,” gumam
Patricia datar.
“SETOJOH! Gak bisa imut!!! Gak bisa. Sama sekali gak bisa.”
Ginny terlihat benar-benar tidak setuju.
“Ayolah, anak-anak…” Bu Lia mulai memelas. “Saat pertama
kali ibu mengajar -4 tahun lalu- ibu sangat suka Klub Musik di sekolah ini.
Tapi karena ibu guru baru, ibu tidak bisa menjadi pembimbing klub ini. Satu
tahun kemudian, akhirnya pembimbing klub ini pensiun. Ibu segera menawarkan
diri dan diterima. Tapi… Tapi…”
“Tapi apa, Bu?” Patricia menuntut penjelasan lebih.
Sementara Bu Lia mulai mendramatisir keadaan.
“Tapi… Anak-anak dari Klub Musik udah lulus semuaaa!
Huhuhuhu! Setelah itu, selama 3 tahun ini, Klub Musik sama sekali tidak ada
peminat. Makanya ibu sangat senang sekali kalian tertarik masuk klub ini. Jadi…
ibu… hiks…” Entah sejak kapan air mata sudah menggenangi mata Bu Lia. “Ibu sama
sekali tidak ingin kalian pergi.”
Ginny, Patricia, dan Laura terharu dengan penuturan sang
guru. Mereka hampir menangis. Anna yang melihat sang guru dan ketiga sahabat
karibnya itu hanya melongo bingung, dan segera mengecap dirinya sendiri sebagai
manusia paling waras di ruangan itu.
Tapi, di balik semua itu, Laura teringat sesuatu.
“Tu-tunggu… Tiga tahun? Artinya apa yang dikatakan Hoshi itu benar?”
“Eh, iya juga, ya?” Ginny teringat akan perkataan Hoshi tadi
pagi. Patricia hanya mengangguk setuju.
“Semuaaa dihubungkaaan dengaaan Hoshiii,” celetuk Anna pada Laura.
“Yeee, biarin!” sahut Laura sambil menjulurkan lidahnya.
TOK! TOK! TOK! Ada manusia yang mengetuk pintu. Ya iyalah,
masa hewan. ==”
“Tunggu sebentar ya, anak-anak.” Bu Lia berdiri dan
membukakan pintu. Betapa terkejutnya Anna melihat orang yang ada di balik pintu
itu.
“REO?!” seru Ginny, Patricia, dan Laura bersamaan.
“Oh, kalian juga sekolah di sini?” tanya Reo sambil
tersenyum. Ginny, Patricia, dan Laura mengangguk. Anna hanya memalingkan muka
dan mengerucutkan bibirnya.
“Ada apa?” tanya Bu Lia.
“Ini.” Reo memberikan secarik kertas pada Bu Lia. “Satu
bulan lagi akan diadakan festival ulang tahun sekolah. Di festival tahun ini
akan diadakan pementasan untuk setiap klub. Dan karena Klub Musik sudah
memiliki anggota, maka Klub Musik juga akan ikut tampil bulan depan,” terang
Reo.
Bu Lia memperhatikan isi dari kertas tersebut sambil
terkadang mengangguk-angguk kecil. “Kapan kertas ini harus dikumpulkan lagi?”
tanyanya.
“Hmm, kalau bisa sekarang juga,” jawab Reo.
Di sisi lain, Anna terlihat makin kesal dengan kedatangan
Reo dan lagaknya yang menurut Anna sangat sok-sokan itu. “Hei, Reo! Kenapa
harus lo sih yang ngasih? Emang lo itu anggota OSIS?” ujar Anna sewot.
“Hmm, lebih tepatnya calon anggota OSIS,” sahut Reo sedikit
sombong. Keempat sekawan itu kaget.
“Oh.”
Sambil membaca tulisan yang ada di kertas itu, Bu Lia
berjalan mendekati meja dan duduk. Lalu ia memperlihatkan isi dari kertas itu.
Ternyata itu adalah formulir pendaftaran yang harus diisi oleh setiap klub yang
akan ikut dalam pementasan di festival ulang tahun sekolah.
“A-ano, saya akan menunggu,” kata Reo sambil tersenyum,
kemudian melanjutkan, “bolehkah saya masuk ke dalam?”
“NGGAK! Lo tegak di situ, nemenin pintu!” sahut Anna
langsung. Reo hanya meneguk ludah.
Kembali pada secarik kertas formulir itu. Di situ tertulis Klub: ..., dan dibawahnya tertulis Nama Klub: …. Untunglah Bu Lia membawa
pena di sakunya, iapun mulai mengisi formulir tersebut.
Klub: Klub Musik
Nama Klub: …
Tunggu… nama klub?
“Eh, nama klub?” Ginny bingung.
“Iya, setiap klub memiliki namanya sendiri-sendiri,” sahut
Laura.
“Hmm, gimana kalo ‘Blossom’?” Patricia menyarankan. “Seperti
bunga Sakura yang bermekaraaaan,” lanjutnya.
“Nggaaak,” tolak Ginny.
“Atau mau ambil dari nama Dewa Yunani?” Laura mengeluarkan
idenya.
“Aphrodite?” gumam Anna.
“Atau… Athena?” Patricia kembali memberi saran.
“Cari nama yang menarik, dong…!” seru Ginny.
“Duh, Mbah cerewet, deh! Ngomong aja, dari tadi gak ada
mikir,” cibir Anna.
“Mikir kok, barusan…”
“Huh, dasar! Mbah, mbah!”
“A-ano.” Suara Reo kembali masuk ke telinga Anna. “Waktu
kalian tinggal sebentar lagi.”
“Wah, harus buru-buru nih! Ayo, anak-anak, keluarkan
kreatifitas kalian!” seru Bu Lia, berharap bisa membangkitkan daya kreatifitas
keempat sekawan itu.
“Mikir, dong, Mbah!” kata Anna pada Ginny.
“Yaelah, ini juga lagi mikir, Ann!”
“Woi, jadi apaan nih? ‘Star’ deh! ‘STAR’!” ujar Laura.
Sekarang, kerusuhan mulai terjadi.
“GAK MAU! TERLALU BIASA!” protes Ginny dan Anna barengan.
“JADI APAAN, DONG?!”
“LO MIKIR DULU DONG!”
“YAELAH, TADI KAN GUE UDAH MIKIR!”
“GUE SEKARANG JUGA LAGI MIKIR NEH!”
“HADOOOH, BURUAN! UDAH, UDAH! PADUAN SUARA AJA!”
“YAELAH, LEBIH GAK NYAMBUNG LAGI MBAAAAAH!!!!”
Ginny, Anna, dan Laura terlihat semakin buat rusuh. Tanpa
mereka sadari, Patricia diam-diam sudah menuliskan nama untuk klub mereka dan
akan memberikannya pada Reo.
“STOOOP!” teriak Laura kenceng. Untunglah, Ginny dan Anna
bisa langsung diem. “TUH!” Laura menunjuk ke arah Patricia yang sedang
memberikan kertasnya pada Reo. Semuanya kaget.
“Thanks,” ujar
Reo, dan langsung pergi tanpa pamit.
“TUNGGUUU! CIAAA! LO NULIS APA DI KERTAS ITU!!!” tanya
(baca: teriak) Ginny dan Anna barengan. Laura hanya menutup telinganya saja.
“Hmm…”
“Apaan? Kasih tahu gue,” rengek Ginny.
“Kasih tahu gue juga…!” imbuh Anna.
“Hmm… Gue kasih nama… QUIRKY!”
“QUIRKY?!”
PROK! PROK! PROK! Bu Lia bertepuk tangan pada keempat
sekawan itu, mengalihkan perhatian mereka.
“Waktu kalian hanya 1 bulan untuk tampil. Jadi, bersiaplah,”
ujar Bu Lia. Semua hanya meneguk ludah.
To Be Continued…
.
.
.
Hallo, selamat siang
semua. ^_^
Saya Lucy Na, author
utama dalam pembuatan cerita ini. Cerita ini dibuat bersama temen saya dengan
mengusung konsep girlband. Haha, semoga kalian suka ya! ^_^
Karya ini adalah
karya ASLI kami, bukan plagiat. Jika kalian menemukan cerita yang sama dengan
ini, tolong segera beritahu saya, ya. Karena saya telah membuatnya dengan susah
payah.
Cerita ini saya dan
temen saya buat untuk 2 orang temen saya. Maaf ya kalau jelek. T_T Soalnya saya
belum terlalu mahir dalam membuat cerita.
Nah, terakhir,
silahkan tinggalkan jejak kalian berupa review! ^_^
Terima kasih dan
selamat siang. :D